Thursday, September 30, 2010

Saccharate liming


(Sistem sakarat di pabrik gula)

Industri pengolahan gula pada umumnya menerapkan pemurnian dengan sistem sulfitasi (defekasi-sulfitasi). Terdapat beberapa pabrik saja yang menerapkan pemurnian secara karbonatasi diantaranya adalah PG. Gondang Baru di Klaten dan salah satu pabrik milik Sugar Group di lampung tengah. Beberapa pabrik gula baru menerapkan sistem pengolahan semi rafinasi yang bisa menghasilkan SHS (gula produk) yang memiliki warna (ICUMSA) yang lebih kecil daripada dengan proses sulfitasi.

Inovasi lain yang sedang ramai dibincangkan adalah sistem sakarat pada proses pemurnian. Pada masa giling tahun 2010, telah banyak pabrik gula di jawa yang berinovasi untuk menerapkan pemurnian dengan menambahkan susu kapur dalam bentuk kalsium sakarat. Sebelumnya, pabrik gula Gunung Madu di lampung tengah telah sukses menerapkan metode sakarat. Pada masa giling tahun 2009, PT. PG Rajawali II juga menerapkan metode ini disusul PT. PG. Rajawali I, dan PT. PG Candi Baru pada tahun giling berikutnya. Yang membedakan sistem ini dengan yang lain adalah pada cara penambahan susu kapur pada proses pemurniannya yaitu diberikan dalam bentuk kalsium sakarat.

Dalam proses pemurnian di pabrik gula, penetralan nira dilakukan dengan menambahkan susu kapur, hidroksida kapur yang terlarut mengalami ionisasi dari ion Ca++ bereaksi dengan asam. Konsentrasi ion Ca++ dipengaruhi oleh kelarutan kapur, dan ternyata kelarutan kapur cukup kecil, yaitu pada suhu 25OC hanya terlarut 0,12 ℅ yang berarti kecepatan reaksi penetralan juga lambat. Sifat sakarida mampu membentuk ikatan dengan kation, termasuk kapur membentuk sakarat sehingga kadar kapur aktif tampak menaik atau kelarutan kapur dalam larutan gula meningkat. Pada larutan sukrosa 10 % dapat mengandung CaO 1,5 %.

Kelarutan hidroksida kalsium akan turun bila suhu naik. Jadi larutan jenuh pada suhu kamar bila dididihkan atau dipanaskan akan terjadi pengendapan. Kelarutan juga dipengaruhi oleh sifat partikel kapur. Kelarutan hidriksida kalsium (kapur) juga akan naik pada pelarut berupa larutan gula. Semakin tinggi konsentrasi larutan gula, maka kelarutan kapur juga akan bertambah. Larutnya kapur akan menaikkan kadar kapur dalam larutan gula. Jika kadar kapur dalam larutan gula tinggi, maka terdapat kapur aktif yang tinggi pula yang berarti reaktifitas kapur akan meningkat. Hal ini yang menjadi dasar pemilihan sistem sakarat pada proses pemurnian.

Untuk menerapkan sistem sakarat ini, ada literatur yang menggunakan nira pekat dengan kadar brix 68 dicampur dengan menggunakan susu kapur dengan kadar 15 oBe dengan perbandingan 7 : 1 dengan waktu reaksi selama 5 menit dengan adanya pengadukan (mixing). Walaupun sebenarnya dapat dibuat juga dengan campuran nira mentah dan susu kapur. Larutan sakarat yang terbentuk mempunyai pH berkisar 11,0 – 11,5. Selanjutnya sakarat diinjeksikan sesuai dosis yang cocok pada nira mentah, tiap bahan (nira mentah) mempunyai karakteristik tertentu sehingga perlu adanya percobaan di laboratorium dalam penentuan dosisnya. Ada juga yang mencoba sakarat dengan perbandingan +/- 1% terhadap nira mentah yang diolah. Adapun injeksinya dilakukan pada pipa setelah tahapan pemanas pertama (JH/PP I).

Perlu menjadi perhatian dalam pembuatan sakarat, nira pekat pada kondisi pH yang tinggi (pH 11,0 – 11,5), beberapa gula reduksi yang telah rusak akan meningkatkan kadar asam organik dalam bentuk garam kalsium dan akan menurunkan PH. Selain itu, asam amino yang ada akan bereaksi dengan reducing sugar yang menyebabkan reaksi maillard. Proses degradasi ini bertambah banyak seiring dengan lamanya waktu tinggal, sehingga memperhitungkan waktu tinggal dalam proses pembuatan sakarat menjadi penting.

Operasi sakarat di PT. PG Rajawali II unit PG. Sindang laut, PG. Tersana Baru dan PG. Karang Suwung menunjukkan, aplikasi sistem sakarat ini akan menurunkan penggunaan bahan pembantu yang berupa belerang dan kapur tohor. Dalam operasi sakarat, jumlah penggunaan kapur yang dicapai adalah sebanyak 125 Kg/100 ton tebu dan belerang sebanyak 27 Kg/100 ton tebu.

Dalam operasi sakarat, kontrol pH menjadi sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Idealnya, proses pemurnian pada zaman yang sudah maju ini menggunakan kontrol pH otomatis yang dihubungkan dengan modutrol di sistem penjatah kapur. Hal ini akan memudahkan pengontrolan pH dan efeknya adalah lebih sempurnanya proses pemurnian sesuai dengan keinginan.

Penggunaan pH meter digital di stasiun pemurnian sebenarnya sudah banyak diterapkan pada pabrik gula di jawa, akan tetapi kenyataannya penulis belum pernah menemui pH meter di pabrik gula (pemurnian) yang bisa berfungsi dengan baik, padahal investasi yang dikeluarkan sangat besar. Hal ini merupakan sesuatu yang kurang mendapat perhatian, sehingga pabrik-pabrik yang latah untuk menjadi modern yaitu dengan menggunakan pH meter digital di stasiun pemurnian kecewa dengan performanya. Untuk itu perlu diperhitungkan dan diperhatikan jenis-jenis pH meter yang akan digunakan.

SEKILAS PERJALANAN PROSES PENGOLAHAN GULA TEBU


Pada umumnya, pabrik gula tebu di Indonesia merupakan warisan belanda pada zaman kolonial. Perjalanan proses pengolahannyapun hampir seragam kecuali pada pabrik yang menerapkan proses karbonatasi. Berikut ini adalah sekilas proses pengolahan gula tebu dengan prmurnian cara sulfitasi. Secara garis besar, pabrik gula bertujuan untuk mengambil sukrosa dari tebu semaksimal mungkin dengan menekan kehilangan gula seoptimal mungkin.

Dalam pabrik gula dikenal section-section yang disebut stasiun, mulai dari emplasement, stasiun gilingan sampai pengarungan.
Emplasement (Halaman Pabrik)
Halaman pabrik berfungsi untuk menimbun tebu yang datang dari kebun. Biasanya di sekitarya terdapat pohon-pohon besar yang berfungsi untuk menahan panasnya matahari. Suhu halaman pabrik yang panas akan menyebabkan temperatur tebu naik dan akan barakibat mempercepat proses tebu menjadi layu (wayu). Layunya tebu akan dibarengi dengan inversi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Hal ini disebabkan karena nira dalam tebu bersifat asam dan proses inversi lebih cepat apabila temperatur tinggi.

Idealnya, halaman pabrik dilengkapi dengan timbangan tebu, baik berupa jembatan timbang atau crane yang dilengkapi dengan timbangan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bobot tebu yang masuk ke pabrik dan selanjutnya digunakan untuk pengawasan proses. Halaman pabrik juga harus mempunyai alat untuk bongkar muatan baik dari truk atau dari lori.

Yang terpenting adalah, persediaan tebu di halaman pabrik harus dapat memenuhi kapasitas giling. Sebenernya, sisa tebu kemarin dalam halaman pabrih, semakin kecil semakin baik. Untuk menjamin kelancaran giling, sisa tebu yang baik yaitu pada jam 06.00 sampai 18.00 sebanyak 12 dikali kapasitas giling perjam, dan pada jam 18.00 – 06.00 sebenyak 15 dikali kapasitas giling perjam. Literature lain juga menyebutkan sisa tebu kemarin yang baik adalah sebesat 25-30% dari kapasitas giling perhari dihitung pada jam 06.00 pagi.

Stasiun Gilingan
Stasiun gilingan dibagi menjadi dua bagian yaitu persiapan dan gilingan
1. Persiapan
Tebu yang dibongkar dari truk atau lori diletakkan diatas meja tebu. Meja tebu dilengkapi dengan alat yang berfungsi untuk mendorong tebu ke krepyak tebu (carrier). Setelah diatas carrier, tebu dibawa melewati cutter untuk dipotong menjadi bagian yang lebih kecil. Selanjutnya tebu terpotong dihancurkan dengan menggunakan shredder atau unigrator. Setelah itu masuk ke gilingan

Proses persiapan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan tebu yang akan digiling sehingga proses pemerahan bisa maksimal. Efektifitas dari alat-alat persiapan ditunjukkan dengan angka preparation index yang besarannya berbeda-beda tiap pabrik. Pada umumnya angka preparation index lebih kurang sebesar 90

2. Gilingan
Gilingan berfungsi untuk mengambil nira dalam tebu. Optimalnya gilingan dengan cepat dapat diketahui dengan melihat pol ampas. Semakin kecil pol ampas, akan semakin baik.

Dalam stasiun gilingan diberikan air panas (added water) yang biasa disebut imbibisi (dari bahasa belanda imbibitie). Fungsinya untuk membilas ampas gilingan antara agar fungsi pemerahan gula bisa maksimal. Umumnya pabrik gula menerapkan sistem imbibisi majemuk yaitu menggunakan air panas dan nira gilingan berikutnya. Dari stasiun gilingan dihasilkan nira mentah yaitu nira yang keluar dari gilingan 1 dan 2.



Stasiun Pemurnian
Fungsi dari stasiun pemurnian adalah untuk menyingkirkan kotoran-kotoran bukan gula yang terdapat dalam nira mentah. Proses yang dilakukan baik berupa proses fisik ataupun kimia. Proses dalam stasiun pemurnian dilakukan sedemikian rupa sehingga kerusakan sukrosa dapat ditekan seoptimal mungkin.

Yang pertama dilakukan dalam stasiun pemurnian adalah menyaringan dengan menggunakan saringan parabolis (DSM). Setelah itu nira mentah dipanasi sampai suhu 75 C. Nira mentah yang telah dipanasi ditambahkan Ca(OH)2 sampai pH tertentu. Setelah itu pada nira ditambahkan SO2 sampai pH netral. Nira dipanaskan kembali sampai suhu 105 C, ditambahkan flokulan dan diendapkan di clarifier. Setelah mengendap, nira jernih disaring lagi dan menghasilkan nira encer, setelah itu, dipanaskan sampai suhu 115 C dan selanjutnya diproses ke tehap evaporasi. Nira kotor yang ada di clarifier selanjutnya disaring menggunakan vacuum filter. Proses filtrasi ini menghasilkan filtrat dan blotong. Filtrat akan dikembalikan lagi ke awal proses pemurnian dan blotong diangkut truk menuju tempat penimbunan.

Stasiun Penguapan
Fungsi dari stasiun penguapan adalah meningkatkan konsentrasi larutan gula dalam nira. Nira encer dari stasuin pemurnian diuapkan dengan menggunakan evaporator multi effect. Nira dipanaskan dengan menggunakan uap panas yang berasal dari uap bekas penggerak turbin gilingan. Nira encer yang mempunyai brix 15 diuapkan airnya sampai mencapai brix 60. setelah itu akan dihasilkan material yang dinamakan nira pekat. Selanjutnya nira pekat ditambah SO2 sehingga dicapai pH tertentu.

Stasiun Kristalisasi
Sistem kristalisasi di pabrik gula tebu menggunakan sistem kristalisasi bertingkat, baik berupa A-D, A-C-D, A-B-D, atau A-B-C-D, dengan ketentuan A dan B adalah produk (berlaku untuk abrik gula tebu di jawa). Nira pekat hasil dari stasiun penguapan diuapkan lagi airnya sehingga akan terbentuk kristal dengan sendirinya. Metode lain kristalisasi adalah dengan menggunakan bibit gula berupa fondan yang selanjutnya kristal bibit itu dibesarkan.

Proses kristalisasi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kristal yang terbentuk mempunyai ukuran yang seragam. Seragamnya ukuran kristal gula akan dicapai apabila konsentrasi larutan dalam bejana kristalisasi dijaga pada konsentrasi tertentu. Setelah ukuran kristal yang diinginkan tercapai, maka kristal yang masih bercampur dengan larutan (masakan /massecuit) diturunkan ke bejana penampung.

Stasiun Pemutaran
Untuk memisahkan kristal dan larutan setelah proses kristalisasi dilakukan langkah pemutaran. Dengan gaya centrifugal, kristal akan tertahan di saringan (basket) dan larutan akan melewati saringan tersebut. Langkah proses pemutaran yang baik akan menghasilkan gula yang putih dan mempunyai kadar air yang kecil.

Di stasiun putaran terdapat 2 jenis alat yaitu batch dan continue. Putaran continue disebut low grade centrifugal dan putaran batch biasa disebut hi grade centrifugal (putaran untuk produk). Selanjutnya gula produk hasil pemutaran di angkut dengan talang goyang (grasshopper) menuju pengering.

Stasiun Pengeringan dan Pendinginan
Pengeringan berfungsi untuk mengurangi kadar air dalam gula sehingga meningkatkan ketahanan dalam penyimpanan. Cara pengeringan dilakukan dengan cara pemanasan menggunakan udara kering dan dikontakkan dengan gula. Alat yang digunakan bermacam macam ada yang berupa talang getar atau rotary dryer.

Gula yang dikeringkan dalam keadaan panas, untuk itu perlu didinginkan agar tidak terjadi proses kimiawi yaitu browning pada saat penyimpanan. Pendinginan dilakukan dengan menghembuskan udara dingin baik dari udara sekitar ataupun udara dingin dari alat pendingin udara.

Stasiun Pengarungan
Gula yang sudah dingin selanjutnya ditampung di sugar bin. Setelah itu dilakukan pengarungan atau pengemasan dengan berat 50 Kg. Untuk suplai langsung ke konsumen, pabrik biasanya juga membuat kemasan 1 Kg.

Gudang Gula
Gudang gula berfungsi untuk menimbun gula yang telah dikemas. selanjutnya gula siap untuk didistribusikan ke penyalur atau konsumen.

Tuesday, September 28, 2010

Saccharate liming (Sistem sakarat di pabrik gula)

Industri pengolahan gula pada umumnya menerapkan pemurnian dengan sistem sulfitasi (defekasi-sulfitasi). Terdapat beberapa pabrik saja yang menerapkan pemurnian secara karbonatasi diantaranya adalah PG. Gondang Baru di Klaten dan salah satu pabrik milik Sugar Group di lampung tengah. Beberapa pabrik gula baru menerapkan sistem pengolahan semi rafinasi yang bisa menghasilkan SHS (gula produk) yang memiliki warna (ICUMSA) yang lebih kecil daripada dengan proses sulfitasi.

Inovasi lain yang sedang ramai dibincangkan adalah sistem sakarat pada proses pemurnian. Pada masa giling tahun 2010, telah banyak pabrik gula di jawa yang berinovasi untuk menerapkan pemurnian dengan menambahkan susu kapur dalam bentuk kalsium sakarat. Sebelumnya, pabrik gula Gunung Madu di lampung tengah telah sukses menerapkan metode sakarat. Pada masa giling tahun 2009, PT. PG Rajawali II juga menerapkan metode ini disusul PT. PG. Rajawali I, dan PT. PG Candi Baru pada tahun giling berikutnya. Yang membedakan sistem ini dengan yang lain adalah pada cara penambahan susu kapur pada proses pemurniannya yaitu diberikan dalam bentuk kalsium sakarat. 

Dalam proses pemurnian di pabrik gula, penetralan nira dilakukan dengan menambahkan susu kapur, hidroksida kapur yang terlarut mengalami ionisasi dari ion Ca++ bereaksi dengan asam. Konsentrasi ion Ca++ dipengaruhi oleh kelarutan kapur, dan ternyata kelarutan kapur cukup kecil, yaitu pada suhu 25OC hanya terlarut 0,12 ℅ yang berarti kecepatan reaksi penetralan juga lambat. Sifat sakarida mampu membentuk ikatan dengan kation, termasuk kapur membentuk sakarat sehingga kadar kapur aktif tampak menaik atau kelarutan kapur dalam larutan gula meningkat. Pada larutan sukrosa 10 % dapat mengandung CaO 1,5 %.

Kelarutan hidroksida kalsium akan turun bila suhu naik. Jadi larutan jenuh pada suhu kamar bila dididihkan atau dipanaskan akan terjadi pengendapan. Kelarutan juga dipengaruhi oleh sifat partikel kapur. Kelarutan hidriksida kalsium (kapur) juga akan naik pada pelarut berupa larutan gula. Semakin tinggi konsentrasi larutan gula, maka kelarutan kapur juga akan bertambah. Larutnya kapur akan menaikkan kadar kapur dalam larutan gula. Jika kadar kapur dalam larutan gula tinggi, maka terdapat kapur aktif yang tinggi pula yang berarti reaktifitas kapur akan meningkat. Hal ini yang menjadi dasar pemilihan sistem sakarat pada proses pemurnian. 

Untuk menerapkan sistem sakarat ini, ada literatur yang menggunakan nira pekat dengan kadar brix 68 dicampur dengan menggunakan susu kapur dengan kadar 15 oBe dengan perbandingan 7 : 1 dengan waktu reaksi selama 5 menit dengan adanya pengadukan (mixing). Walaupun sebenarnya dapat dibuat juga dengan campuran nira mentah dan susu kapur. Larutan sakarat yang terbentuk mempunyai pH berkisar 11,0 – 11,5. Selanjutnya sakarat diinjeksikan sesuai dosis yang cocok pada nira mentah, tiap bahan (nira mentah) mempunyai karakteristik tertentu sehingga perlu adanya percobaan di laboratorium dalam penentuan dosisnya. Ada juga yang mencoba sakarat dengan perbandingan +/- 1% terhadap nira mentah yang diolah. Adapun injeksinya dilakukan pada pipa setelah tahapan pemanas pertama (JH/PP I). 

Perlu menjadi perhatian dalam pembuatan sakarat, nira pekat pada kondisi pH yang tinggi (pH 11,0 – 11,5), beberapa gula reduksi yang telah rusak akan meningkatkan kadar asam organik dalam bentuk garam kalsium dan akan menurunkan PH. Selain itu, asam amino yang ada akan bereaksi dengan reducing sugar yang menyebabkan reaksi maillard. Proses degradasi ini bertambah banyak seiring dengan lamanya waktu tinggal, sehingga memperhitungkan waktu tinggal dalam proses pembuatan sakarat menjadi penting.

Operasi sakarat di PT. PG Rajawali II unit PG. Sindang laut, PG. Tersana Baru dan PG. Karang Suwung menunjukkan, aplikasi sistem sakarat ini akan menurunkan penggunaan bahan pembantu yang berupa belerang dan kapur tohor. Dalam operasi sakarat, jumlah penggunaan kapur yang dicapai adalah sebanyak 125 Kg/100 ton tebu dan belerang sebanyak 27 Kg/100 ton tebu.

Dalam operasi sakarat, kontrol pH menjadi sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Idealnya, proses pemurnian pada zaman yang sudah maju ini menggunakan kontrol pH otomatis yang dihubungkan dengan modutrol di sistem penjatah kapur. Hal ini akan memudahkan pengontrolan pH dan efeknya adalah lebih sempurnanya proses pemurnian sesuai dengan keinginan. 

Penggunaan pH meter digital di stasiun pemurnian sebenarnya sudah banyak diterapkan pada pabrik gula di jawa, akan tetapi kenyataannya penulis belum pernah menemui pH meter di pabrik gula (pemurnian) yang bisa berfungsi dengan baik, padahal investasi yang dikeluarkan sangat besar. Hal ini merupakan sesuatu yang kurang mendapat perhatian, sehingga pabrik-pabrik yang latah untuk menjadi modern yaitu dengan menggunakan pH meter digital di stasiun pemurnian kecewa dengan performanya. Untuk itu perlu diperhitungkan dan diperhatikan jenis-jenis pH meter yang akan digunakan.